PESTISIDA (ORGANOFOSFAT DAN DDT) METABOLISME, TOKSISITAS, DAN PENGOBATAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pestisida atau pesticide berasal dari pest yang berarti hama dan cide yang berarti
mematikan / racun. Jadi pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida dapat
didefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang
dianggap sebagai pest yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan
kepentingan manusia. Pestisida merupakan semua zat kimia dan bahan lain serta jasad
renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama dan
penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian,
memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak
diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman (tidak termasuk pupuk), memberantas atau mencegah hama-hama luar pada
hewan-hewan piaraan dan ternak, memberantas atau mencegah hama-hama air,
memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah
tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan, dan memberantas atau mencegah
binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang
perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, atau air. Bidang penggunaan
pestisida meliputi pengelolaan tumbuhan, peternakan, penyimpanan hasil pertanian,
pengawetan hasil hutan,pengendalian vektor penyakit manusia, pengendalian rayap,
pestisida rumah tangga, fumigasi, dan pestisida industri lainnya seperti cat, anti
pencemaran dan bidang lainnya (Rustia,2009).
Insektisida berasal dari bahasa latin insectum yang mempunyai arti potongan,
keratin, atau segmen tubuh, seperti kita lihat padabagian tubuh serangga .Insektisida
adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua
jenis serangga. Serangga adalah binatang yang 26% spesiesnya merugikan manusia
karena herbivore atau fitofak, sedang sebagian lainnya merugikan manusia karena
menyebarkan penyait pada manusia dan binatang ternak. Walau demikian ada pula
serangga yang sangat penting misalnya serangga penyerbuk (polinerator), pengurai
(decomposer), predator dan parasitoid pada serangga lain, penghasil bahan berguna
(lebah madu), dan sebagainya. Serangga menyerang tanaman atau ternak untuk
memperoleh makanan dengan berbagai cara, sesuai tipe mulutnya (menggigit dan
mengunyah, menusuk dan menghisap, menghisap, mengunyah danmenjilat, memarut
dan menghisap).Salah satu kesulitan pengendalian seragga adalah sifat serangga yang
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Sebagai contoh, walaupun
tanaman kesukaannya tidak ada, serangga masih tetap bertahan hidup dengan memakan
jenis tanaman apa saja yang ada. Serangga juga tidak hanya menyerang tanaman di
lahan pertanian, tapi ada beberapa jenisnya yangmenjadi hama gudang (Rustia,2009).
1.2 Rumusan Masalah
A. Bagaimana jalur masuknya toksikan ke dalam tubuh ?
B. Bagaimana metabolisme toksikan masuk ke dalam tubuh ?
C. Apa efek yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida organofosfat dan DDT?
D. Bagaimana cara penangan dari penggunaan pertisida organofosfat dan DDT?
E. Bagaimana cara pengukuran toksikatas pestisida dalam tubuh?
BAB II
PEMBAHASAN
Pestisida merupakan agen kimiawi dan bahan-bahan lain serta jasad renik dan virus yang
didisain dan dikembangkan untuk menjadi zat yang bersifat toksik pada suatu organisme hidup
yang spesifik pada dosis tertentu. Secara umum pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan
yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai pest yang secara
langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia (Munaf, 1987). Kurang
lebih 90 % dari seluruh pestisida yang dihasilkan digunakan untuk tujuan komersil, dan sisanya
pada pengawasan hama, perkebunan, dan penggunaan pada rumah dan taman. Pada
perkebunan, pajanan pekerjaan terhadap pestisida terutama timbul selama mencampur
persenyawaan tersebut dengan air dan penyemprotan campuran tersebut (Jeyaratnam dan Koh,
1996). Kebanyakan pestisida yang digunakan saat ini adalah senyawa organik, utamanya
senyawa sintetik. Pestisida organik sintetik biasanya dibedakan atas 4 golongan yaitu
organoklorin, organofosfat, karbamat dan golongan lain (Mursyidi, 1994).
Senyawa organofosfat merupakan senyawa yang digunakan secara luas di bidang
pertanian sebagai pestisida. Organofosfat yang umum digunakan dalam bidang pertanian
meliputi diazinon, malation, klorpirifos dan profenofos (Isvani, dkk., 2015). Organofosfat
adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan
keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan
kematian, tetapi diperlukan beberapa milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada
orang dewasa (Prijanto, 2009). Organofosfat adalah derivate dari phosphoric acid dan biasanya
sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimianya dan
cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf. Organofosfat selain toksik terhadap tulang
bertulang belakang ternyata tidak stabil dan non persisten, sehingga golongan ini dapat
menggantikan organoklorin, khususnya untuk menggantikan DDT.
DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichlo-roethane) adalah salah satu dari pestisida organoklorin
sintetis. DDT komersial merupakan campuran dari p, p isomer DDD (77%) dan o,p‘ isomer
DDD (15%). DDD dan DDE juga merupakan metabolit dari DDT di lingkungan. Total DDT
merupakan jumlah dari p,p’-DDT, p,p’–DDD, dan p,p’ DDE. Daya larutnya sangat tinggi
dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras
dan tahan oksidasi terhadap asam permanganat. DDT adalah insektisida paling ampuh yang
pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga tetapi juga paling
berbahaya bagi umat manusia manusia sehingga dijuluki “The Most Famous and Infamous
Insecticide”. DDT banyak digunakan di bidang pertanian untuk membasmi hama serangga, dan
di bidang kesehatan untuk membasmi nyamuk malaria, lalat, kutu dan penyakit tifus. DDT
bersifat semi volatil, dapat menjadi bagian dari atmosfer jika terjadi proses penguapan, banyak
ditemukan di lingkungan, dan bahkan residunya ditemukan sampai di kutub utara, bersifat
lipofilik, mengalami proses biokonsentrasi dan biomagnifikasi dalam tubuh organisme akuatik
(Edward, 2016).
2.1 PAPARAN (JALUR MASUKNYA TOKSIKAN)
Jalur masuk atau portal entri adalah pintu masuknya xenobiotik ke dalam tubuh
organisme. Xenobiotik diartikan sebagai bahan asing bagi tubuh organisme, yang antara
lain adalah racun (Soemirat, 2003). Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit
3 | P e m b a h a s a n
(dermal), pernafasan (inhalasi), atau mulut (oral), masing-masing jalur pajanan tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Melalui Mulut / Oral (Ingesti)
Portal entri oral adalah mulut dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Portal entri
ini sering dan mudah terjadi namun bahan asing yang masuk tidak akan mudah
mencapai peredaran darah karena beberapa hal penting yang terkait pada fungsi saluran
gastro-intestinal. Pestsida yang masuk melalui oral sebagian besar akibat kecerobohan,
seperti meninggalkan pestisida dalam jangkauan anak-anak, merokok atau makan tanpa
mencuci tangan setelah menggunakan pestisida, menggunakan mulut untuk
mengalirkan pestisida cair yang tersumbat, memakan buah yang tidak dicuci yang
sebelumnya telah disemprot pestisida, atau secara tidak sengaja meminum pestisida
yang tertuang dalam wadah tak berlabel (Rustia, 2009).
2. Melalui kulit (Absorpsi)
Pajanan pestisida melalui kulit dapat terjadi ketika pestisida tumpah mengenai
kulit atau ketika menyemprot partikel pestisida terbawa angin hingga menempel ke
kulit. Toksisitas melalui kulit (acute dermal toxicity) dapat terjadi jika pestisida
mengenai kulit dan akhirnya dapat masuk ke dalam tubuh. Pestisida yang diabsorpsi
kulit dapat menembus epidermis, kemudian memasuki kapiler darah dalam kulit,
sehingga terbawa sampai ke paru-paru dan organ vital lainnya seperti otak dan otot.
Pestisida akan segera diabsorpsi jika kontak melalui kulit atau mata. Perpindahan residu
pestisida dari suatu bagian tubuh ke bagian lain sangat mudah. Jika hal ini terjadi maka
akan menambah potensi keracunan. Residu dapat berpindah dari tangan ke dahi yang
berkeringat atau daerah genital. Pada daerah ini kecepatan absrpsi sangat tinggi
sehingga dapat lebih berbahaya daripada tertelan (Rustia, 2009).
3. Pernafasan (Inhalasi)
Udara dapat dengan mudah terkontaminasi pestisida selama penyemprotan. Di
daerah tropis, sekitar 90% insektisida golongan organoklorin di tanah akan menghilang
dalam satu tahun. Pestisida golongan lain dapat menguap lebih cepat lagi, terutama bila
diaplikasikan dengan cara menyemprot. Tujuh puluh lima persen (75%) aplikasi
pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan, sehingga memungkinkan butir-butir
cairan tersebut melayang, menyimpang dari aplikasi. Jarak yang ditempuh oleh butiranbutiran
cairan tersebut tergantung pada ukuran butiran. Butiran dengan radius kecil dari
satu micron, dapat dianggap sebagai gas yang kecepatan mengendapnya tak terhingga,
sedang butiran dengan radius yang lebih besar akan lebih cepat mengendap. Sampai
saat ini, bukti mengenai efek yang serius akibat pajanan melalui udara terhadap
kesehatan manusia masih sangat sedikit (Rustia, 2009).
2.2 METABOLISME
1. Organofosfat
Setelah masuk ke dalam tubuh, organofosfat akan dimetabolisme dengan enzim
fase I dan II. Metabolisme fase I organofosfat meliputi oksidasi dan hidrolisis.
4 | P e m b a h a s a n
Oksidasi
Oksidasi adalah reaksi yang paling penting dalam aktivasi bentuk OP thiono untuk
membentuk inhibitor aktif AcHE. Dengan bantuan enzim CYP, atom sulfur dalam
bentuk thiono mengikat satu atom oksigen, menghasilkan intermediet yang tidak stabil
dan menjadi metabolit OP oxono dan atom sulfur aktif (oxidative desulphuration).
Metabolit OP oxono adalah penghambat kuat AcHE, jadi ini adalah reaksi kunci untuk
sebagian besar efek neurotoksik yang disebabkan oleh OP. Pengaruh atom belerang
aktif, sebagai produk sampingan dari reaksi ini, masih belum diketahui. Atom itu dapat
berinteraksi dengan protein tetangga dan, misalnya, menonaktifkan enzim CYP pada
pengikatan ke situs aktif mereka (Elersek and Filipic, 2011).
Hidrolisis
Hidrolisis OP terjadi setelah oksidasi, dengan bantuan enzim esterase A, juga disebut
paraoxonase. Reaksi ini penting untuk proses detoksifikasi OP. Detoksifikasi OP
terjadi ketika paraoxonase membelah OP menjadi dialkilfosfat dan gugus pergi. OP
juga dihidrolisis oleh karboksilesterase, yang berbeda dari paraoxonase dalam selfinactivation
pada hidrolisis (Elersek and Filipic, 2011).
Gambar 1. Reaksi utama metabolisme fase I OP. CYP, cytochrome P450; PON,
paraoxonase; CE, carboxylesterase.
Pada metabolisme fase I, selain desulfurisasi oksidatif dan hidrolisis, reaksi
pengangkatan oksidatif dari rantai samping (dealkilasi) atau pembelahan oksidatif dari
gugus pergi juga dapat terjadi. Terjadi terakhir, setelah pembentukan perantara yang
tidak stabil dengan CYP dan bersaing dengan reaksi desulfurisasi. Karena desulfurisasi
mengaktifkan OP, sementara pembelahan oksidatif dari gugus pergi mendetoksifikasi
mereka, keseimbangan antara dua reaksi ini sangat penting untuk hasil toksisitas OP
akhir. Hasil oksidasi sering senyawa yang lebih hidrofilik, yang dapat lebih mudah
terkonjugasi dalam metabolisme fase II, sehingga memungkinkan ekskresi lebih cepat
dari organisme. Metabolisme OP yang dihasilkan dari metabolisme fase I dikonjugasi
dengan kelompok hidrofilik di bawah katalisis oleh enzim fase II, dan diekskresikan
dalam urin. Dalam metabolisme fase II, reaksi detoksifikasi terjadi secara eksklusif.
2. DDT (Dichlorodiphenyltrichloroethane)
DDT diubah sedikit ke DDE yang kurang beracun oleh dehidroklorinasi, namun
DDE tidak dapat menjalani biotransformasi lebih lanjut, tetapi disimpan untuk waktu
yang tidak terbatas dalam jaringan adiposa. Sebagian besar dalam bentuk para, para-
DDE yang terdapat dalam lemak manusia sebagian besar merupakan DDE dari luar,
hanya sedikit DDE yang diproduksi secara endogen. Jalur detoksifikasi utama dari DDT
adalah melalui deklorinasi ke DDD, insektisida aktif yang mudah terdegradasi menjadi
DDMU, produk detoksifikasi yang larut dalam air, cepat diekskresikan. DDT secara
perlahan dihilangkan dari tubuh, eliminasi telah diperkirakan pada tingkat sekitar 1%
dari DDT yang disimpan per hari (Baselt, 1982).
Gambar 2. Reaksi utama metabolisme DDT
2.3 TOKSISITAS PESTISIDA
1. Organofosfat
Organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Dalam jumlah sedikit
organofosfat dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg
untuk menyebabkan kematian pada orang dewasa. Beberapa dosis fatal untuk senyawa
golongan organofosfat antara lain Malathion 1-5 gram, Parathion 10 mg/kgBB, Systox
100 mg, dan tetraetilpirofosfat 0,4 mg/kgBB. Toksisitas akut pada manusia dapat
menyebabkan neurotoksik pada paparan melalui inhalasi dan oral, serta timbulnya kudis
dan dermatitis pada kontak melalui kulit. Toksisitas kronik pada manusia belum
terlaporkan, namun toksisitas kronik (non kanker) pada hewan uji melalui paparan oral
dapat menyebabkan penurunan kadar Hb, gangguan fungsi hati dan kelainan pada ginjal
(Thanos, dkk., 2016).
2. DDT (Dichlorodiphenyltrichloroethane)
Berdasarkan toksisitasnya, DDT dapat digolongkan menjadi sangat toksik (aldrin,
endosulfan, dieldrin), toksik sederhana (Clordane, lindane, heptaklor), kurang toksik
(Benzane hexacloride (BHC)). Keracunan DDT tidak saja disebabkan oleh daya toksis
DDT itu sendiri tetapi larutan yang dipakai seperti minyak tanah dapat menyebabkan
lebih beratnya tingkat keracunan. Tanda tanda keracunan DDT yaitu, keracunan pada
dosis rendah, si penderita merasa pusing-pusing, mual, sakit kepala, tidak dapat
berkonsentrasi secara sempurna. Pada keracunan dosis yang tinggi dapat kejang-kejang,
muntah dan dapat terjadi hambatan pernafasan. Dosis dari DDT yaitu 250 - 500 mg/kg.
Dosis mematikan pada orang dewasa diperkirakan sebesar 30 g. Perkiraan dosis DDT
oral serendah 10 - 16 mg/kg yang akan menyebabkan kejang-kejang. Kematian biasanya
terjadi dalam 4 hingga 8 jam karena kegagalan pernafasan dan sekuel asidosis metabolik
sekunder akibat aktivitas kejang yang berkepanjangan (Mursyidi ,1994; Ozucelik, dkk.,
2004).
2.4 PENANGANAN KERACUNAN PESTISIDA (ANTIDOTE)
1. Organofosfat
Pengobatan dilakukan dengan pemberian antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau
IM. Penggunaan dosis besar tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus
dulang setiap 10 - 15 menit sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan
berupa wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kewmudian
atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24 - 48 jam, karena gejala-gejala
keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin
dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1- 2 mg selang
beberapa jam, tergantung kebutuhan (Gossel, 1990).
Atropin akan menghialngkan gejala - gejala muskarinik perifer (pada otot polos
dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan diperbaiki karena atropin melawan
brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernafasan di otak,
tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa
kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernafasan (Gossel,
1990).
Kelumpuhan otot-otot dapat diatadi dengan pemberian pralidoksim, yang
diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator enzim
kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan, maka
efektifitas obat akan berkurang. Dosis normal pralidoksim yaitu 1 gram pada orang
dewasa. Jika kelemahan otot tidak ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 - 2 jam.
Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus pajanan
dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis. Pralidoksim dapat
mengaktifkan kembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan
otot rangka sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka (Gossel, 1990).
2. DDT (Dichlorodiphenyltrichloroethane)
Tidak ada obat penawar khusus yang ditetapkan tetapi benzodiazepine bermanfaat
dalam mengurangi kejang pada orang yang keracunan DDT. Biasanya orang yang
mengalami keracunan DDT akan berkeringat, muntah dan pusing serta kejang-kejang
akibat keracunan. Penggunaan benzodiazepine untuk mengurangi suhu tubuh dan
menenangkan setelah kejang-kejang. Saat seseorang mengalami kejang-kejang
dikendalikan dengan pemberian IV diazepam, diberikan selama beberapa menit totalnya
15 mg. Pasien menerima 1 Meq/kg natrium bikarbonat untuk membaikkan asidosis
metabolik. Saat kejang-kejang kambuh diberi tambahan 10 mg IV diazepam. Diazepam
ini jenis dari golongan benzodiazepine. Pemberian obat ini perlu penangan dari dokter
dan dengan dosis yang sudah diatur. Saat penambahan IV diazepam dapat mengurangi
kejang-kejang akibat dari keracunan DDT (Ozucelik, dkk., 2004).
2.5 PENGUKURAN TOKSISITAS PESTISIDA
Pengukuran toksitas bisa dilihat dari sifat toksik suatu tokson sangat ditentukan oleh
dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran suatu zat yang berpotensial
toksik di dalam suatu organisme belum tentu menghasilkan juga keracunan. Uji toksisitas
akut merupakan salah satu metode uji pra-klinik yang digunakan untuk menentukan atau
mengukur derajat efek toksik dari suatu senyawa dalam dosis tunggal. Jangka waktu yang
digunakan pada umumnya adalah 24 jam. LC (Lethal Concentration) atau LD (Lethal
dosage) merupakan satuan yang digunakan untuk menentukan tingkat kepekaan terhadap
konsentrasi toksik untuk hewan uji (Harmita dan Maksun, 2006).
Toksisitas didefinisikan sebagai LD50 yang dinyatakan dalam mg senyawa pestisida
per kilogram berat badan, dalam perkataan lain dosis yang dapat membunuh 50% persen
dari jumlah hewan percobaan yang digunakan pada kondisi laboratorium. LD50 dapat
dinyatakan dengan oral (melalui mulut atau diletakan dalam perut tikus), melalui kulit
(digunakan terhadap kulit tikus atau kelinci), dan melalui pernapasan. Besarnya konsentrasi
(dosis) merupakan faktor yang sangat penting di dalam menentukan bahaya atau tidaknya
suatu jenis pestisida/bahan kimia. Di samping toksisitas, variabel lainnya yang cukup
penting ialah dosis, lamanya terkena pestisida, dan caranya masuk ke dalam badan. Jumlah
pestisida yang dibutuhkan untuk membunuh manusia dapat dihubungkan dengan LD50 dari
senyawa kimia terhadap tikus di laboratorium (Thanos, dkk., 2016).
BAB III
PENUTUP
Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Yang dimaksud hama di sini adalah sangat
luas, yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh
fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran
mikroskopis), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Sekarang lebih
banyak digunakan pestisida sintetik yaitu ada 4 golongan organoklorin, organofosfat, karbamat
dan golongan lainnya. Dalam makalah ini membahas pestisida golongan organoklorin jenis
DDT dan pestisida golongan organofosfat.
Golongan organoklorin yang berjenis DDT merupakan jenis pestisida yang sering
digunakan untuk membasmi berbagai jenis hama dan serangga,tungau, tumbuhan pengganggu,
penyakit tanaman yang dapat merugikan para petani. DDT dan organofosfat insektisida yang
sangat toksik di antara jenis pestisida lainnya karena sering menyebabkan keracunan pada
orang. Jalur masuknya toksikan dari pestisida ini bisa melalui mulut, kulit dan pernafasan.
Toksitas dari pestisida ini dapat dilihat dari besarnya dosis yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Baselt, R. C., 1982, Disposition of Toxic Drugs and Chemicals in Man, Biomedical
Publications, California.
Edward, 2016, Bioakumulasi Pestisida Organiklorin dalam Kerang Hijau (Perna viridis) di
Teluk Jakarta, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.
Elersek, T. and Filipic, M., 2011, Pesticides - The Impacts of Pesticides Exposure, In Tech,
Rijeka.
Gossel, T. A., 1990, Principle of Clinical Toxicology, Raven Press, New York.
Harmita dan Maskun, 2006, Buku Ajar Analisis Hayati, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Isvani, N. K., Mulyasuryani, A., dan Prasetyawan, S., 2015, Kinerja Biosensor Konduktometri
Berbasis (Screen Printed Carbon Electrode) SPCE––Kitosan untuk Deteksi Diazinon,
Malation, Klorpirifos dan Profenofos, Jurnal Kimia VALENSI, 1(2) : 83-90.
Jeyaratnam, J., and Koh, D., 1996, Textbook of Occupational Medicine Practice, World
Scientific. Singapore.
Munaf, S., 1997, Keracunan Akut Pestisida : Teknik Diagnosis, Pertolongan Pertama,
Pengobatan dan Pencegahannya, Widya Medika, Jakarta.
Mursyidi, A., 1994, Pestisida Efek Toksik dan Nasibnya di Lingkungan, UNISIA, 23 : 112 –
119.
Ozucelik, D. N., Karcioglu, O., Topacoglu, H., dan Fowler, J. R., 2004, Toxicity Following
Unintentional DDT Ingestion, Journal of Toxicology, 42(23) : 299-303.
Prijanto, T. B., 2009, Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat Pada Keluarga
Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang, Tesis S2. (Tidak
dipublikasikan), Magister Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.
Rustia, H. N., 2009, Pengaruh Pajanan Pestisida, UI-Press, Jakarta.
Soemirat, J., 2003, Toksikologi Lingkungan, UGM-Press, Yogyakarta.
Thanos, C. A. A., Tomuka, D., Mallo, N. T. S., 2016, Livor Mortis Pada Keracunan Insektisida
Golongan Organofosfat Di Kelinci, Jurnal e-Clinic, 4(1) : 10-20.
Komentar
Posting Komentar